SALAH SATU CARA MENGATASI “KEKOSONGAN HUKUM" FIKTIF POSITIF PASCA TERBITNYA UU NO 6 TAHUN 2023 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA MENJADI UNDANG-UNDANG

Hermanto, S.H., M.H.

4/4/20246 min read

brown wooden stand with black background
brown wooden stand with black background

FIKTIF POSITIF

Undang-Undang No 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) telah menggeser paradigma Fiktif Negatif yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU Peratun), menjadi fiktif positif (Lex Silentio Positivo). Jika sebelumnya “suatu permohonan terhadap KTUN yang telah melampaui batas waktu penerbitan KTUN maka permohonan tersebut dianggap ditolak menurut hukum (Vide Pasal 3 UU Peratun) berubah menjadi: “…. maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum. (Vide Pasal 53, ayat (3) UUAP). Lahirnya UUAP menyebabkan daya guna norma Pasal 3 UU Peratun menjadi tidak efektif meski norma pasal ini juga tidak pernah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Hanya terhadapnya diterapkan Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori melalui ketentuan peralihan UUAP, Pasal 87.

Fiktif Positif berangkat dari asas lex silencio positivo yang diberlakukan oleh negara-negara yang menganut pasar bebas, khususnya Uni Eropa, untuk membongkar birokrat yang lamban dan mandek (silence administration) dalam pengurusan izin-izin (vergunning) atau persetujuan-persetujuan serta tindakan otoritas administratif yang diperlukan oleh warga negara. Fiktif positif diterapkan sebagai otorisasi diam-diam dalam hal suatu otoritas administratif gagal merespons pada batas waktu yang ditentukan. Old maxim-nya; diam berarti setuju atau quitacet consentire videtu; tindakan yang diam menimbulkan persetujuan serta-merta.

Menurut Enrico Simanjuntak dalam Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 3, November 2017), hal 382 menyatakan “secara sederhana dapat dikatakan bahwa prinsip atau konsepsi Lex Silencio Positivo adalah sebuah aturan hukum yang mensyaratkan otoritas administrasi untuk menanggapi atau mengeluarkan permohonan keputusan/tindakan yang diajukan kepadanya dalam limit waktu sebagaimana yang ditentukan peraturan dasarnya dan apabila prasyarat ini tidak terpenuhi, otoritas administrasi dengan sendirinya dianggap telah mengabulkan permohonan penerbitan keputusan/tindakan itu.

Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 77/PUU-XV/2017, hal 51, putusan, memberikan tafsir mengenai Fiktif Positif atas Pasal 53 UUAP sebagai berikut: Bahwa fiktif positif pada dasarnya merupakan upaya memperoleh putusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara yang merupakan kebalikan dari fiktif negatif dimana kewenangan ini ada pada Pengadilan a quo untuk memeriksa dan memutus penerimaan permohonan untuk selanjutnya Pengadilan memerintahkan agar badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan menerbitkan Keputusan dan/atau melakukan Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Digunakannya kata “Fiktif” karena merupakan permohonan yang diajukan dianggap atau seolah-olah ada keputusan, sedangkan disebutkan “Positif” karena permohonan yang diajukan oleh Pemohon telah diterima dan diajukan permohonan ke Pengadilan untuk mendapatkan putusan atas penerimaan tersebut. Selanjutnya Pengadilan akan memeriksa apakah permohonan yang diajukan tersebut beralasan hukum untuk dikabulkan atau ditolak atau tidak dapat diterima. Apabila dikabulkan, maka Pengadilan memerintahkan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan untuk menerbitkan keputusan atau tindakan terkait permohonan yang dimaksud.

Demikianlah Keputusan fiktif positif diberlakukan sebagai buah dari Reformasi di Indonesia demi memaksimalkan pelayanan public agar lebih responsif, lebih terbuka dan partisipatoris, didasari oleh prinsip Good Governance dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis untuk kesejahterahan semua anak bangsa.

SIKAP MAHKAMAH AGUNG

Setelah UUAP berlaku, Mahkamah Agung melakukan singkronisasi dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2015 Tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan Dan/Atau Tindakan Badan Atau Pejabat Pemerintahan sebagai pedoman beracara, yang kemudian diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2017.

Selain itu, Mahkamah Agung juga mengeluarkan Surat Edaran No. 1 Tahun 2017, yang merupakan sikap tegas MA terhadap perbedaan pendapat dikalangan hakim TUN dalam memeriksa fiktif positif. Dalam Surat Edaran tersebut MA menyatakan: Berdasarkan ketentuan Pasal 53 UU AP yang mengatur mengenai permohonan fiktif-positif, maka ketentuan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 mengenai gugatan fiktif-negatif tidak dapat diberlakukan lagi, karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum tentang tata cara permasalahan hukum yang harus diterapkan oleh PERATUN.

PERMOHONAN PUTUSAN PENERIMAAN

Fiktif positif versi UUAP memberikan kewenangan kepada Pengadilan TUN untuk memeriksa dan memutus permohonan fiktif positif, atau dalam hal Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan, selanjutnya agar permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum maka harus menempuh permohonan putusan penerimaan melalui Pengadilan TUN (vide: Pasal 53 ayat (3) dan ayat (4) UUAP).

Permohonan putusan penerimaan melalui Pengadilan merupakan syarat wajib (conditio sine qua non),bila Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak melakukan keputusan dan/atau tindakan, baik menerima atau menolak suatu permohonan. Dengan putusan penerimaan maka suatu permohonan akan memperoleh kepastian hukum dan kekuatan eksekutorial, dikabulkan (atau ditolak) oleh Pengadilan atau dapat dikatakan ‘nyawa’ fiktif positif yang dianut oleh UUAP berada pada palu hakim Pengadilan TUN.

LAHIRNYA UU CIPTAKER

Sejak sebelum lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UUCK) sudah menimbulkan problematika hukum, khususnya dalam penerapan Fiktif positif melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.

UUCK melakukan perubahan radikal beberapa pasal yang ada dalam UUAP, termasuk Fiktif positif. Bunyi lengkap (original intent) UUCK pada Bagian Kedua Administrasi Pemerintahan, Pasal 175, menyatakan:

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 20l4 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) diubah menjadi sebagai berikut:

Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 53

1) Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan atau Pejabat Pemerintahan.

3) Dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan Keputusan dan/atau Tindakan sebagai Keputusan atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.

4) Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.

5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Presiden.

Pembentuk undang-undang rupanya hendak memangkas semua hal yang menghambat kemudahan berusaha (investasi) dan beradaptasi dengan gerak cepat di pasar global. Batas waktu 10 hari untuk pejabat pemerintah memproses permohonan masyarakat versi UUAP dipangkas menjadi 5 (lima) hari kerja versi UUCK, lalu bila sebelumnya dalam UUAP (sebelum diubah dengan pasal diatas) masih diharuskan adanya upaya melalui Pengadilan TUN untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan (sehingga dianggap dikabulkan atau ditolak secara hukum) maka dalam UUCK praktis sudah tidak diperlukan lagi.

Permohonan putusan penerimaan melalui Pengadilan, barangkali dinilai sebagai suatu sengketa yang dapat memakan waktu (tingkat pertama, banding dan kasasi) dan dapat menjadi faktor penghambat kemudahan berusaha dan dinamika pasar global, sehingga melalui Pasal 175 UUCK sebagai perubahan Pasal 53 UUAP, kompetensi Pengadilan TUN untuk memeriksa dan memutus fiktif positif melalui permohonan putusan penerimaan diberangus.

Dalam UUCK bentuk penetapan keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum akan diatur dalam Peraturan Presiden. Isu besarnya adalah Peraturan Presiden sampai saat ini belum diterbitkan. Padahal Perpres tersebut akan menjadi benchmarking atau panduan bagi Badan/Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan Keputusan/Tindakan fiktif positif. Tanpa Perpres tersebut, ‘roh’ fiktif positif tidak memiliki daya hidup sama sekali, seperti bangkai namun belum juga dikuburkan.

KEKOSONGAN HUKUM?

Masa awal berlakunya UUCK, terdapat perbedaan pendapat dikalangan hakim TUN, beberapa hakim TUN tidak menerima permohonan putusan penerimaan dengan argument UUCK telah mencabut kompetensi pengadilan, namun terdapat hakim lainnya yang masih memeriksa dan memutus permohonan penerimaan dengan ratio legis Peraturan Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2017 masih berlaku dan belum dicabut, sehingga untuk menyeragamkan sikap hakim TUN, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran No 5 Tahun 2021 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2021 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

Dalam Surat Edaran No 5 Tahun 2021, MA telah menentukan sikap, pada Huruf E, Rumusan Hukum Kamar Tata Usaha Negara, Lembaga Fiktif Positif, MA menyatakan: dengan diundangkannya UUCK, permohonan fiktif positif sudh tidak lagi menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara. Sehingga pasca terbitnya surat edaran tersebut seluruh permohonan fiktif positif yang diajukan biasanya hanya diperiksa dan berakhir dalam ruang hampa dismissal proses.

NORMA DASAR FIKTIF POSITIF MASIH OBYEK TUN

Eksistensi fiktif positif jelas sudah tidak ada dalam ruang Pengadilan TUN. Oleh UUCK, pelembagaannya telah ditarik penuh ke wilayah eksekutif melalui Perpres yang belum diterbitkan, namun norma dasarnya (staatsfundamentalnorm) sebagai suatu tindakan administrasi/pemerintahan yang dapat menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat tidak pernah dicabut dari yuridiksi Pengadilan TUN.

Fiktif positif adalah upaya atau formula hukum untuk melembagakan keputusan/tindakan yang diperlukan melalui pengadilan atas sikap diam atau abai pejabat tata usaha negara tersebut atau dalam tafsir Mahkamah Konstitusi: “fiktif positif pada dasarnya merupakan upaya memperoleh putusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara…” Artinya fiktif positif hanyalah salah satu cara memperoleh kepastian hukum atas sikap sikap diam dan abai (silence administration) dari pejabat tata usaha negara.

Sedangkan sikap diam dan abai (silence administration) pejabat tata usaha negara adalah tindakan faktual pejabat tata usaha negara (feitelijke handelingen) yang rumusannya terdapat dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (tidak dicabut oleh UUCK) sehingga merupakan obyek TUN.

Dalam hal ini, menurut penulis untuk menguji silence adminstration sebagai leksikon dari fiktif positif maka tidak ada kekosongan hukum, terdapat cara lain yang dapat diajukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara yakni salah satunya dengan batu uji tindakan faktual sebagaimaan diatur dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 Tentang Adminstrasi Pemerintahan dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan Dan/Atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad).